Pertanyaan : Bagaimana hukum menambah nama suami pada nama istri ? apakah terlarang dalam Islam ?
Jawaban :
Salah satu dari tujuan syariat adalah penjagaan terhadap turunan manusia secara individu maupun masyarakat (hifz al-Nasl). Karena itu Islam mengharamkan menisbatkan nasab kepada selain yang mempunyai hak yaitu ayahnya.
عَنْ سَعْد٠رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْه٠قَالَ Ø³ÙŽÙ…ÙØ¹Ù’ت٠النَّبÙيَّ صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙŠÙŽÙ‚Ùول٠مَنْ ادَّعَى Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ غَيْر٠أَبÙيه٠وَهÙÙˆÙŽ يَعْلَم٠أَنَّه٠غَيْر٠أَبÙيه٠Ùَالْجَنَّة٠عَلَيْه٠ØÙŽØ±ÙŽØ§Ù…ÙŒ
Barangsiapa yang menisbatkan nasab kepada selain ayahnya padahal dia mengetahuinya bahwa orang yang dia nisbatkan itu bukan ayahnya, maka surga haram baginya (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 8/156)
Ø¹ÙŽÙ†Ù Ø§Ø¨Ù’Ù†Ù Ø¹ÙŽØ¨Ù‘ÙŽØ§Ø³ÙØŒ Ø£ÙŽÙ†Ù‘ÙŽÙ‡Ù Ø³ÙŽÙ…ÙØ¹ÙŽÙ‡Ù ÙŠÙŽÙ‚ÙولÙ: Ø¥Ùنَّ رَسÙولَ الله٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ، قَالَ: " مَن٠ادَّعَى Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ غَيْر٠أَبÙÙŠÙ‡ÙØŒ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالÙÙŠÙ‡ÙØŒ ÙÙŽØ¹ÙŽÙ„ÙŽÙŠÙ’Ù‡Ù Ù„ÙŽØ¹Ù’Ù†ÙŽØ©Ù Ø§Ù„Ù„Ù‡ÙØŒ وَالْمَلائÙÙƒÙŽØ©ÙØŒ وَالنَّاس٠أَجْمَعÙينَ "
Dari Ibnu Abbas berkata sesungguhnya beliau mendengar Rasulullah Saw bersabda : Barangsiapa yang menisbatkan nasab kepada selain ayah kandungnya atau menisbatkan tuan selain daripada tuannya, maka laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya baginya (H.R. Ahmad, Musnad Ahmad, 5/163)
Secara kekuatan dalil, dua hadis diatas derajatnya sahih. Secara dilalah, hadis diatas menunjukan haramnya menisbatkan nasab dengan sengaja kepada selain ayah kandungnya dari qarinah, pertama penggunaan kalimat bentuk larangan yang dalam kaidah bahwa asal larangan menunjukan kepada haram. Kedua, hukuman tidak masuk surga dan laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya. Dalam perbuatan tersebut ada dua unsur yang terlarang, pertama mengandung kedustaan. Kedua, perbuatan tersebut merupakan tindakan durhaka kepada orang tua.
Persolannya apakah menambahkan nama suami pada nama istri termasuk dalam larangan hadis diatas ? penambahan nama suami pada istri untuk tujuan muamalah dan sebagai pembeda merupakan masuk dalam kategori tradisi atau adat masyarakat tertentu. Asal dalam adat atau muamalah adalah mubah selama tidak ada dalil yang melarang. Apakah tepat menjadikan hadis-hadis diatas sebagai larangan kebiasaan tersebut. Jika kita teliti dalam kitab-kitab syarah hadis al-Bukhari, maka kita dapatkan bahwa larangan tersebut illatnya adalah penisbatan nasab kepada selain ayah kandung. Adapun untuk tujuan muamalah misalnya supaya dikenal dan pembeda dengan individu yang lain, maka tidak termasuk yang dilarang sehingga hukumnya mubah.
ليس معنى هذين Ø§Ù„ØØ¯ÙŠØ«ÙŠÙ† أن من اشتهر بالنسبة إلى غير أبيه أن يدخل ÙÙŠ الوعيد كالمقداد بن الأسود، وإنما المراد به من تØÙˆÙ„ عن نسبته لأبيه إلى غير أبيه عالما عامدا مختارا، وكانوا ÙÙŠ الجاهلية لا يستنكرون أن يتبنى الرجل ولد غيره ويصير الولد ينسب إلى الذي تبناه ØØªÙ‰ نزل قوله تعالى :{ادْعÙوهÙمْ Ù„ÙØ¢Ø¨ÙŽØ§Ø¦ÙÙ‡Ùمْ Ù‡ÙÙˆÙŽ أَقْسَط٠عÙنْدَ اللَّهÙ} وقوله Ø³Ø¨ØØ§Ù†Ù‡ وتعالى :{وَمَا جَعَلَ أَدْعÙيَاءَكÙمْ أَبْنَاءَكÙمْ} Ùنسب كل ÙˆØ§ØØ¯ إلى أبيه الØÙ‚يقي وترك الانتساب إلى من تبناه لكن بقي بعضهم مشهورا بمن تبناه Ùيذكر به لقصد التعري٠لا لقصد النسب الØÙ‚يقي كالمقداد بن الأسود، وليس الأسود أباه، وإنما كان تبناه واسم أبيه الØÙ‚يقي عمرو بن ثعلبة بن مالك بن ربيعة البهراني، وكان أبوه ØÙ„ي٠كندة Ùقيل له الكندي، ثم ØØ§Ù„٠هو الأسود بن عبد يغوث الزهري ÙØªØ¨Ù†Ù‰ المقداد Ùقيل له ابن الأسود.
Kedua hadis diatas, maknanya bukanlah bahwa jika seseorang terkenal dengan nisbat selain kepada ayah kandungnya maka masuk dalam larangan hadis tersebut seperti Miqdam bin al-Aswad (al-Aswad bukan ayah kandungnya), akan tetapi maksudnya adalah merubah nasab yang seharusnya dinisbatkan kepada ayah kandung tapi kepada yang lain, dengan mengetahui, sengaja dan sadar. Pada masa jahiliyah (sebelum Islam) tidak mengingkari pengangkatan anak dengan menjadikan anak tersebut dinisbatkan nasabnya kepada orang yang mengangkatnya anak sehingga turunlah ayat “panggillah mereka (anak-anak angkat) itu sesuai dengan ayah kandung mereka hal itu lebih adil disisi Allah” serta firman Allah “ dan tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu”. Maka dinisbatkan setiap orang itu kepada ayah kandungnya dan meninggalkan kebiasaan nisbat nasab berdasa