Menjadi Santri Itu Menyenangkan Dan Membentuk Karakter

Oleh: Fika Fitria Syahroni, S. Sos

Dibalik tercetusnya Hari Santri, ada sebuah nama yang tak lekang oleh sejarah. Seorang pemuda alim dan pemberani. Ilmu yang luas dan mendalam, prinsip hidupnya tegas dan akidahnya yang kokoh. Jiwanya merdeka dan sikapnya lemah lembut terhadap sesama muslim. Ia pemuda terdepan melawan penjajah dan paling lantang bersuara tentang Persatuan Islam Ia adalah Kyai Haji Hasyim Asy'ari yang bergelar “Hadratus Syaikh” artinya Maha Guru.

Dia seorang pemuda yang haus akan ilmu, ia belajar dari pesantren ke pesantren. Kyai Haji Hasyim Asy'ari mengeluarkan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober yang sekarang dinamai Hari Santri. Resolusi ini untuk menghadapi Belanda dan tentara sekutu yang ingin melakukan Agresi Militer pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia. Demi mengabadikan perannya ditetapkanlah hari santri ini untuk memperingati peran besar santri dan ulama dalam sejarah bangsa Indonesia.

Oh ya, pekan kemarin kita digemparkan dengan sebuah channel TV yang menayangkan pencemaran nama baik Kyai dan Santri. Stasiun TV ini pun banyak dihujat dan akhirnya pihak kru televisi ini merilis ucapan permintaan maaf. Selain ini, ada juga yang viral yaitu sebuah video  tentang adanya sistem feodalisme yang diterapkan beberapa ustadz (GUS) tokoh pondok kepada santrinya. Terlihat di video itu ada seorang kyai yang membagikan jeruk pada santrinya dengan cara yang kurang layak (dilempar).

Na’udzubillah min dzalik, semoga makin berkurang pondok pesantren yang jauh dari syari'at. Penulis yakin pasti lebih banyak pondok pesantren yang mengajarkan para santrinya dengan nilai-nilai syariat Islam.

Jika ditanya apakah penulis setuju dengan adanya sistem feodalisme di pondok pesantren? Tentunya penulis tidak setuju, sebab pondok pesantren itu adalah tempat paling tepat untuk mendidik anak agar paham terhadap agama. Pesantren juga tempat nyaman menempa anak dengan akhlakul karimah.

Berbicara tentang santri, penulis teringat dengan pengalaman beberapa tahun silam menjadi seorang santri. Penulis dari sejak usia 13 tahun sudah di pondokan oleh kedua orang tuanya di sebuah pondok Pesantren Persis di Subang dan alhamdulillah penulis hingga mengenyam bangku perkuliahan hidup di lingkungan Persatuan Islam. 

Pengalaman ketika menjadi seorang santri penulis rasakan sangat menyenangkan dan sangat berharga. Banyak sekali hikmah yang penulis dapatkan ketika mondok di pesantren.

Pertama, kita belajar untuk memanage waktu. Dimana di asrama kita dilatih mengikuti jadwal yang ditetapkan, misalnya: jadwal belajar, jadwal makan, jadwal beristirahat dan tentunya jadwal beribadah. Jam 03.00 malam kita harus sudah bangun, lalu kita mengambil air wudhu dan qiyamul lail. Setelah itu, lanjut shalat subuh berjama’ah.

Usai shalat subuh berjamaah, kita lanjut membaca Alquran bersama. Suasana ini begitu sangat syahdu dan mengesankan sekaligus menenangkan hati sanubari.  Dimana saat itu penulis dalam usia yang sangat labil. Pondok pesantren hadir menyemai jiwa keimanan bagi penulis.

Kedua, di pondok pesantren kita belajar kemandirian. Dimana kita dilatih untuk belajar mandiri seperti menunaikan piket. Kita bersih-bersih agar lingkungan Pondok tetap terjaga kelestariannya. Sebab pesantren yang bersih dan sehat adalah aset bagi penghuni di dalamnya. Kita kita pun ditanamkan keyakinan bahwa kebersihan itu bagian dari iman.

Ketiga, di pondok pesantren kita belajar untuk mengamalkan syariat Islam. Di mana kita dibiasakan mengucapkan salam ketika berpapasan dengan teman-teman ataupun dengan para ustadz ustadzah. Selain itu, kita diajarkan untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Kita pun diajarkan untuk ber amar ma'ruf nahi munkar yaitu menyeru kepada kebaikan dan menjauhi larangan. Penulis masih teringat ketika dahulu ada teman penulis yang memakai jilbab yang ketat akhirnya diingatkan oleh pengurus pondok.

Keempat, yang sangat berharga adalah ketika penulis mendapatkan banyak sekali ilmu dari para guru-guru yang luar biasa. Penulis bisa belajar tentang kehidupan dari nasehat-nasehat para ustadz dan ustadzah yang disampaikan ketika mengajar di depan kelas. Penulis menemukan rahasia kehidupan ibarat bongkahan berlian dari para guru-guru diantaranya:

1.Jadilah kau manusia yang semakin berilmu tapi semakin merunduk.

2.Jadilah kau hamba pilihan Allah yang langka bukan seperti mereka yang hidup untuk makan dan sekedar memenuhi kebutuhan pribadi. Jadilah kau manusia berguna dan bermanfaat bagi agama, sebab kau pun nanti akan mati juga.

3.Jadilah Alquran tak hanya sekedar kau hafalkan tapi jadikanlah Alquran sebagai perhiasan akhlakmu.

Alhamdulillah atas segala ilmu dan segala hal sangat bermakna yang penulis rasakan ketika mengenyam pendidikan di pondok pesantren, penulis ucapkan terima kasih banyak kepada guru-guru penulis di manapun mereka berada. Jazakumulloh khoiron katsiiron. Semoga Allah membahagiakan para guru sekalian. Semoga Allah memberkahi kehidupan para guru sekalian. Penulis betul-betul beruntung mendapatkan ilmu dan hikmah yang luar biasa. Semoga penulis kedepannya bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi umat dan negara.

Penulis mohon doa agar dimudahkan menjalankan amanah mengelola pondok tahfidz (Wadil Qur'an) yang kini sudah berjalan sekitar 9 tahun, penulis menemani sang suami yang sedang berusaha memperbaiki kemandirian pondok lewat ketahanan pangan bagi para santri penghafal Al-Qur’an.

Penulis mohon do'a semoga pondok semakin kaya dan sukses mengkader generasi yang dirindukan oleh umat yaitu generasi peradaban yang kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin di masa depan.

 

Editor : Hanif

Postingan Lainnya

Comments (0)

Leave a Comment