إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
( Al- An’am 79, 162)
Kisah Edukasi – Al-Ust. E. Abdurrahman - Apel Khamis, Halaman Masjid / Pesantren Persis Pajagalan Bandung.
Al-Kisah seorang pemuda (Habanaqoh) yang memakai kalung yang dalam perjalanan ke suatu tempat, ia tidur dibawah sebuah pohon – hingga tertidur pulas – lalu datanglah seorang pemuda lain yang hendak pulang kampung – iapun berteduh dibawah pohon yang sama – demi melihat kalung yang dipakai oleh Habanaqoh, ia tertarik lalu mengambilnya dan dipakainya.
Ketika Habanaqoh bangun dari tidurnya, ia melihat pemuda yang ada didekatnya memakai kalung yang sama dengan miliknya. Habanaqoh meraba raba kalung yang ada dilehernya telah hilang. Kemudian ia membangun pemuda tadi dan bertanya : “A anta Habanaqoh am ana” Apakah kamu Habanaqoh atau aku Habanaqoh itu”.
Begitulah jalan dan ringkas ceritanya. Ahirnya di kalangan para pemuda kampung itu Habanaqoh dianggap sebagai pemuda yang kehilangan jati diri. Ia tidak mempunyai hakikat jari diri, karena ia berjatidirikan dengan sesuatu yang berada diluar dirinya.
Ayat diatas yang sering kita baca dalam doa iftitah, seyogyanya menjadi pengingat jati diri.
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِين
( Al-An’am 79)
Diucapkan oleh Nabi Ibrohim sehubungan dengan awal penetapan keyakinannya yang selama itu beliau cari.
Sedangkan perkataan :
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
( Al-An’am 162)
Menunjukkan peneguh keyakinannya dan merupakan ikrar/janji sumpah setia terhadap apa yang sudah diyakininya sebagai kebenaran mutlak.
Penetapan keyakinan dan peneguh keyakinan itu sekarang sering kita pakai dalam doa iftitah dalam sholat kita dan menjadi pengingat siapa sebenarnya kita.
Kita bukanlah orang musyrik dan kita adalah seorang muslim yang telah mewaakafkan diri kepada Alloh (Husus : Bai’at Tasykil dan bai’at muslim), diharapkan kita tidak menjadi seorang Habanaqoh yang kehilangan jati diri oleh segala sesuatu yang menempel pada diri kita.
Sebagaimana dapat kita saksikan melalui medsos yang berkeliaran dilayar HP kita selama ini, tentang orang orang yang telah kehilangan jati dirinya yang disebabkan oleh fakto faktor yang menyertai dirinya yang berupa kekuatan, kekuasaan, wewenang, kedudukan dan jabatan.
Seseorang yang seyogyanya menjadi panutan, pengayom, pemimpin, pengurus masyarakat atau orang orang yang berada dalam tanggungannya, sekarang berbalik dengan sesuatu sesuatu yang merugikan, memiskinkan, mentelantarkan dan menyengsarakan orang banyak. (tapi bagi fihak fihak terkait tentu memberikan keuntungan)
Dilain sisi, dekadensi moral semakin marak, seorang bapak memperkosa putri kandungnya sendiri, seorang ibu membuang darah dagingnya sendiri di tempat sampah, kasus pembunuhan 5 anggota keluarga oleh orang dekatnya, bahkan para wakil rakyat yang bertikai, bertengkar di ruang terhormat sering kita saksikan. Mereka sudah lupa siapa dirinya yang sebenarnya.
Seorang (oknum Muslim) tidak mengenal dirinya sendiri sebagai seorang muslim, mana yang baik bagi dirinya untuk dilakukan dan mana yang buruk yang seharusnya dijauhi. Mereka telah kehilangan jati dirinya sebagai seorang muslim.
Islam hanya difahami sebagai agama ritual semata, bukan difahami sebagai konsepsi kehidupan (way of life) yang bersifat komprehensif, menyeluruh, lengkap, mencakup banyak hal dalam segala aspek kehidupan.
Sholat, zakat, saum, haji hanya dianggap sebagai ritual semata, oleh karena sering kita saksikan pembahasannya berputar dan berputar disekitar fikih ibadah (bukan berarti salah) dan seolah terlepas, tidak ada hubungannya dengan fikih sosial dan lain sebagainya.
Ini banyak tumbuh subur dikalangan awam. Dan pada ahirnya ada ungkapan ungkapan ironis yang melecehkan Islam itu sendiri, dalam logat sundanya “Ongkoh mah Islam tapi jeung tatangga teu hade” “Hulu wae ditiungan sungut mah teu diwengku” dan kata kata yang lainnya yang mendeskrediktkan Islam.
Dampak lain dari kehilangan jati diri adalah terkikisnya “Adab”
Penulis Ustadz. A. Maman R
Editor: Hanif
Comments (0)