Batasan Risywah ( SUAP)

Taufiq Rahman Azhar


Pengertian Risywah

Secara haqiqah lughawiyah (hakikat bahasa) kata risywah (رشوةِ) berasal dari kata risya (رشاء) maknanya:

الَّذِي يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى الْمَاءِ

“tali timba yang berfungsi mengantarkan timba sehingga bisa sampai ke air” (an-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, II:546)

Secara haqiqah ‘urfiyah (hakikat adat kebiasaan) kata risywah (رشوة) maknanya :

الوُصْلَةُ إِلَى الْحَاجَةِ بِالْمُصَانَعَةِ

 “alat penghubung terwujudnya kebutuhan dengan suap” (al-Faiq fi Gharib Al-Hadits, II:60)

Namun dapat bermakna pula al-ja’lu/al-ju’lu, yaitu:

مَا يُعْطِيهِ الشَّخْصُ الْحَاكِمَ أَوْ غَيْرَهُ لِيَحْكُمَ لَهُ ، أَوْ يَحْمِلَهُ عَلَى مَا يُرِيْدُ

“Pemberian seseorang kepada hakim atau yang lainnya supaya memberikan keputusan yang menguntungkannya atau membuat orang yang diberi melakukan apa yang diinginkan oleh yang memberi” (Lihat, Tajul ‘Arus min Jawahiril Qamus, XXXVIII:153)

Secara haqiqah syar’iyyah (hakikat syariat) kata risywah (رشوةِ) maknanya

مَا يُعْطَى لإِبْطَالِ حَقٍّ أَوْ لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ

“Pemberian untuk membatalkan kebenaran dan membenarkan yang batil” (Lihat, Syarhus Sunnah, X:88)

Berbagai pendekatan di atas menunjukkan bahwa makna risywah secara istilah syar’i lebih spesifik, yaitu :pemberian kepada seseorang supaya yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Jadi, secara syariat suatu pemberian dapat dikategorikan delik risywah jika membuat yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Tentu saja salah dan benar yang dimaksud di sini menurut parameter syariat, bukan semata-mata ‘urf atau adat kebiasaan manusia.  

Secara praktek dapat dipastikan bahwa risywah melibatkan dua pihak (ar-rasyi dan al-murtasyi). Namun terkadang melibatkan pula pihak ketiga (ar-Raisy).

Imam Ibnul Jauzi menjelaskan:

 

الرَّاشِي الَّذِيْ يُعْطِي مَنْ يُعِينُهُ عَلَى البَاطِلِ والمُرْتَشِي الآخِذُ وَالَّذِيْ يَسْعَى بَيْنَهُما يُسَمَّى الرَّائشُ

“Ar-Rasyi adalah orang yang memberikan harta kepada orang lain yang membantunya pada kebathilan. Al Murtasyi adalah yang mengambil harta tersebut. Dan yang berperan (perantara) di antara keduanya disebut ar-Raisy”.  (Lihat, Gharib Al-Hadits, I:395)

Imam as-Shan’ani menjelaskan:

والرَاشِي: هُوَ الَّذِي يُبَذِّلُ الْمَالَ لِيَتَوَصَّلُ اِلَى البَاطِلِ.

 

Ar-Rasyi adalah orang yang memberikan harta agar sampai kepada kebathilan.

                                                                                                               

وَالْمُرْتَشِي: آخْذُ الرُّشْوَةِ

Al Murtasyi adalah yang mengambil risywah. 

وَالرَّائِشُ : وَهُوَ الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا

Ar Raisy  adalah yang mengadakan terjadinya risywah (perantara).  (Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, III:423)

Risywah ( Suap ) menurut bahasa dalam kamus al-Mishbahul Munir dan Kitab Muhalla Ibnu Hazm yaitu “Pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya”. Atau pengertian lain   Risywah menurut Kitab Lisanul ‘Arab dan Mu’jamu Washith yaitu “Pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu”.

Maka berdasarkan definisi tersebut, suatu yang dinamakan risywah adalah jika mengandung unsur:

  • pemberian atau athiyah,
  • ada niat untuk menarik simpati orang lain atau istimalah, serta
  • bertujuan :.
  • Ibtholul haq (membatalkan yang haq)
  • Ihqaqul bathil (merealisasikan kebathilan)
  • Al mahsubiyah bighoiri haq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan)
  • Al hushul alal manafi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya)
  • Al hukmu lahu ( memenangkan perkaranya )

 

Dalam Al Qur’an tidak ditemukan kata risywah. Dalam pelarangan risywah ini ulama mengambil dalil pelarangan memakan harta secara batil, karena risywah salah satu bentuk penggunaan harta secara batil. Ayat-ayat Al Qur`an yang dijadikan ulama sebagai pelarangan risywah:

 

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.[QS Al-Baqarah  (2) :188]

 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadam.[QS.An-Nisa ( 4) :29]

 

وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ * لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Artinya:

Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu [QS Al-Maidah( 5):62—63].

Kata أكلهم السحت  dalam ayat di atas berarti memakan yang haram. Salah satu bentuk yang diharamkan adalah memakan hasil risywah. Ibn Mas’ud, Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya mengatakan  السحت  adalah risywah.

 

Hadits-hadits Rasulullah SAW yang melarang risywah.

 عن أبي هريرة قال ثم لعن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  الراشي والمرتشي في الحكم   

( رواه الترمذى)

Dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok dalam hukum (HR. At-Turmuzi)

 عن عبد الله بن عمرو قال ثم لعن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  الراشي والمرتشي.  (رواه الترمذى)

Dari Abdullah bin Amr, beliau berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan menerima sogok (HR. At-Turmuzi)

 

عن ثوبان قال لعن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم الراشي والمرتشي والرائش يعني الذي يمشي بينهما (رواه أحمد)    

Dari Tsauban, beliau berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok serta orang yang menjadi perantara, yaitu orang yang berjalan di antara keduanya (HR. Ahmad)

 

عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال من شفع لأخيه شفاعة فأهدى له هدية عليها فقبلها فقد أتى بابا عظيما من   أبواب الربا.  (رواه أبو داود)

Dari Abi Umamah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Siapa yang menolong saudaranya dengan suatu pertolongan lalu dia memberi suatu hadiah dan hadiah itu diterimanya, maka berarti dia memasuki pintu besar dari pintu-pintu riba (HR Abu Daud).

       

Al-Qasim bin Abdur Rahman al-Umawi mengatakan: “ungkapan di atas menunjukkan haramnya menerima hadiah oleh hakim dan para pemimpin lainnya,” termasuk risywah.

 

Berdasarkan riwayat yang dikemukkan di atas ada tiga komponen yang mendapat kecaman dari Rasulullah sehubungan dengan perlakuan risywah. Pertama, orang yang menyogok disebut dengan rasyi; kedua, orang yang menerima sogok disebut dengan murtasyi; dan ketiga, orang menjadi mediator dalam sogok menyogok yang disebut dengan ra`isy. Ketiga komponen ini dikecam oleh rasul dengan kata laknat, baik laknat itu datang dari Rasul SAW maupun laknat itu datang dari Allah SWT. Kedua bentuk laknat ini ditemukan dalam lafaz hadis.

        Berdasarkan dalil-dalil ulama sepakat melarang risywah. Ibn Ruslan mengatakan sogok  itu haram dengan ijma’ ulama. Demikian juga pendapat Imam al-Mahdi dalam kitabnya al-Bahr Dengan arti kata tidak ada ulama yang membolehkannya. Larangan ini berlaku secara umum, baik sogok dalam dunia peradilan maupun dalam bidang yang lain.

Ketika menafsirkan QS 5:42 (آكلون السحت) al-Qurthubi mengutip beberapa pendapat yang mengatakan bahwa dimaksud السحت  adalah risywah (sogok). Risywah tersebut bisa dalam bentuk pemberian (hadiah) pada hakim dalam memutuskan perkara atau pemberian yang diperoleh melalui pemanfaatan kekuasaan. Dalam hal ini lebih lanjut al-Qurthubi mengatakan tidak ada perbedaan pendapat ulama salaf tentang keharaman sogok.

Dalam riwayat dari Rasulllah ditemukan sogok itu dilarang dalam dunia peradilan sebagaimana riyawat Turmuzi yang diterima dari Abu Hurairah. Akan tetapi dalam dalam riwayat Turmuzi juga yang diterima dari Abdullah bin Amr dan Tsauban pelarangan sogok berlaku secara umum tanpa mengkhususkan dalam bidang peradilan. Kedua hadis ini harus dipakai sehingga pelarangan sogok berlaku di bidang apapun. Hanya saja sogok di dunia peradilan memiliki peluang yang sangat besar, karena dalam dunia peradilan perebutan hak bagi bagi orang-orang yang berperkara. Bila mana sogok dibolehkan maka hak jatuh ke tangan  orang yang bukan pemiliknya.

Abu Hanifah  membagi  Risywah kepada 4 hal :

– قسّم الحنفيّة الرّشوة إلى أربعة أقسامٍ منها :
أ    . الرّشوة على تقليد القضاء والإمارة وهي حرام على الآخذ والمعطي.
ب . ارتشاء القاضي ليحكم ، وهو كذلك حرام على الآخذ والمعطي ، ولو كان القضاء بحقٍّ، لأنّه واجب عليه.
ج . أخذ المال ليسوّي أمره عند السّلطان ، دفعاً للضّرر أو جلباً للنّفع ، وهو  حرام على الآخذ فقط.
د.   إعطاء إنسانٍ غير موظّفٍ عند القاضي أو الحاكم مالاً ليقوم بتحصيل حقّه له ، فإنّه يحلّ دفع ذلك وأخذه ، لأنّه وإن كانت معاونة الإنسان للآخر بدون مالٍ واجبةً ، فأخذ المال مقابل المعاونة لم يكن إلاّ بمثابة أجرةٍ.

Imam  Abu  Hanifah  membaginya    ke dalam 4 hal yaitu :

  1. Memberikan sesuatu untuk mendapatkan pangkat dan kedudukan ataupun jabatan, maka hukumnya adalah haram bagi pemberi maupun penerima.
  2. Memberikan  sesuatu  kepada  hakim  agar  bisa  memenangkan  perkaranya, hukumnya adalah haram bagi penyuap dan yang disuap, walaupun keputusan tersebut adalah benar, karena hal itu sudah menjadi tugas seorang hakim dan kewajibannya.
  3. Memberikan  sesuatu  agar   mendapat  perlakuan  yang   sama   dihadapan penguasa dengan tujuan mencegah kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap saja.
  4. Memberikan sesuatu kepada seseorang yang tidak bertugas di Pengadilan atau instansi tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di Pengadilan  atau  pada  instansi  tersebut,  maka  halal  bagi  keduanya,  baik pemberi maupun penerima, karena hal itu sebagai upah atas tenaga dan potensi yang dikeluarkannya.

Macam-macam Risywah

Ibnu Abidin, dengan menguti kitab al-Fath, mengemukakan empat macam bentuk risywah,

  1. Risywah yang haram  atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
  2. Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.
  3. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak kemudaratan dan mengambil mamfaat. Risywah ini haram bagi yang mengambilnya saja. Sebagai helah risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan dengan pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya adalah kazaliman.

Oleh karena itu haram bagi yang mengambil saja, yaitu sebagai hadiah untuk menahan kezaliman dan sebagai upah dalam menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun bila tidak disyaratkan, sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang diberikan kepada penguasa, maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa (la ba`sa). Kalau seseorang melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula karena ketama’annya, maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun makruh sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud.

Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.

Ada pendapat yang membolehkan sogok apabila berakaitan dengan penetapan hak. Pendapat ini dikemukkan oleh al-Mansur Billah, Abu Ja’far dan sebagian pengikut asy-Syafi’i. Namun asy-Syaukani membantahnya karena menurut keumuman hadis yang ada sogok dilarang. Kalaupun ada perbedaan pendapat dalam hal ini dianggap tidak sah, karena tidak mempengaruhi hukum yang telah ditetapkan.

Mengkhususkan kebolehan sogok terhadap penetapan hak tidak ada dalil. Oleh karena itu harus berlaku keumuman hadis yang melarang sogok dalam bentuk apapun

Pada dasarnya Risywah atau suap itu adalah hukumnya haram, tetapi dalam hal tertentu ada risywah/suap yang dibolehkan   Seperti : penyuapan yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya, karena dia dalam kondisi yang benar dan mencegah kezholiman   terhadap   orang   lain.   Dalam   hal   seperti   ini,   dosanya   tetap ditanggung  oleh  orang  yang  menerima  suap

Risywah untuk Memperoleh Hak & mencegah kezaliman

Jumhur ulama membolehkan risywah yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang. Kebolehan itu berdasarkan hadis Nabi saw. dan atsar Ibnu Mas’ud sebagai berikut:

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ إنِّي لَأُعْطِي أَحَدَهُمْ الْعَطِيَّةَ فَيَخْرُجُ بِهَا يَتَأَبَّطُهَا نَارًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلِمَ تُعْطِيهِمْ ؟ قَالَ يَأْبُونَ إلَّا أَنْ يَسْأَلُونِي وَيَأْبَى اللَّهُ لِي الْبُخْلَ

Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya aku memberi seseorang pemberian, lalu dengan pemberian tersebut dia terhindar dari api. Lalu sahabat bertanya, ‘Kenapa engkau memberi mereka ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Mereka enggan, kecuali mereka meminta kepadaku. Allah pun enggan kalau aku bakhil” (H.r. Ahmad)

عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ ابْن مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّهُ لَمَّا أَتَى أَرْضَ الْحَبَشَةِ أَخَذَ بِشَىْءٍ فَتُعُلِّقَ بِهِ فَأَعْطَى دِينَارَيْنِ حَتَّى خُلِّىَ سَبِيلُهُ

Dari al-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ketika ia datang ke negeri Habsyah, ia membawa sesuatu, maka ia ditahan karena sesuatu itu. Lalu ia memberi dua dinar sehingga ia dibebaskan. (H.r. al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, juz X:139)

Dalam riwayat Ibnu Abu Syaibah dengan redaksi

لَمَّا أَتَى أَرْضَ الْحَبَشَةِ أُخِذَ فِي شَيْءٍ فَأَعْطَى دِينَارَيْنِ حَتَّى خُلِّي سَبِيلَهُ.

Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ketika ia datang ke negeri Habsyah, ia ditahan karena sebab sesuatu. Lalu ia memberi dua dinar sehingga ia dibebaskan. (al-Mushannaf, VI:557)

Dalam konteks ini kita dapat memahami pernyataan Jabir bin Zaid:

لَمْ نَجِدْ فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ لَنا شَيْئاً أَنْفَعَ لَنَا مِنَ الرِّشَا.

“Pada zaman itu, kami tidak mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kami selain risywah” (H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, VI:557)

Pernyataan ini menunjukkan bahwa pada saat itu (zaman kekuasaan Ziyad dari Bani Umayyah) risywah merupakan sarana yang paling efektif untuk melindungi jiwa dan harta dari sikap penguasa yang bertindak sewenang-wenang.

Sehubungan dengan itu para ulama dari kalangan tabi’in, antara lain Jabir bin Zaid dan as-Sya’bi berpendapat:

لاَ بَأْسَ أَنْ يُصَانِعَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَالِهِ إذَا خَافَ الظُّلْمَ

“Tidak mengapa seseorang menyuap untuk (keselamatan) diri dan hartanya apabila khawatir terhadap kezaliman” (H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, VI:557)

وقيل لوهب بن منبه : الرشوة حرام فى كل شىء ؟ قال لا إنما يكره من الرشوة أن ترشى لتعطى ما ليس لك ، أو تدفع حقا قد لزمك ، فأما أن ترشى لتدفع عن دينك ومالك ودمك فليس بحرام

Wahb bin Munabbih ditanya apakah risywah itu diharamkan pada segala sesuatu, maka ia menjawab: ”Tidak, risywah  itu diharamkan jika engkau memberi sesuatu pada orang lain supaya engkau diberi sesuatu yang bukan hakmu atau supaya engkau bebas dari kewajibanmu. Adapun jika engkau melakukan risywah dalam rangka membela agamamu, nyawamu, atau hartamu maka tidaklah haram”. (H.r. al-Baihaqi)

Meskipun demikian para ulama sepakat bahwa dalam konteks ini murtasyi (orang yang menerima suap) tetap haram dan berdosa. Lihat, Kasyaful Qana’, VI:316, Nihayatul Muhtaj, VIII:243, Hasyiah Ibnu Abidin, IV:304.

 Adapun yang dimaksud dengan hak disini adalah hak secara khusus, bukan hak secara umum. Artinya urusan/sesuatu itu sudah dapat dipastikan menjadi hak orang tersebut. Karena itu, jika seseorang tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan syarat harus membayar uang/barang sejumlah tertentu maka pembayaran itu tidak dikategorikan risywah yang diharamkan. Sebagaimana bila seseorang dirampas harta miliknya dan tidak akan diberikan kecuali dengan memberikan sejumlah harta, maka pemberian itu tidak dikategorikan risywah yang diharamkan, karena harta itu memang harta miliknya secara khusus.

 Perbedaan  Hadiah dengan Risywah

Apabila dilihat dari segi isensi Risywah(Suap) yaitu “Pemberian”dalam bahasa arab disebut “Athiyyah’. Dalam Islam ada beberapa istilah yang memiliki keserupaan “Risywah dengan Athiyyah” diantara hal-hal tersebut adalah :

 

Hadiah, yaitu  pemberian  yang  diberikan  kepada  seseorang  sebagai penghargaan atau “ala sabilil Ikram”. Perbedaannya dengan risywah adalah Jika risywah diberikan dengan tujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, sedangkan hadiah diberikan dengan tulus sebagai penghargaan dan rasa kasih sayang. pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan tujuan tertentu. Perbedaannya dengan risywah adalah bahwa “Ar Rasyi” yaitu pemberian suap, memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu, sedangkan “Al Waahib” atau pemberi hibah memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu.

Bagaimana jika pemberian hadiah atau hibah tersebut diberikan oleh seseorang kepada pejabat pemerintah atau penguasa ataupun hakim ?

Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Abu Humaid As-Saidi yang masyhur   dengan   istilah   hadits   Ibnul   Utbiyah   yang   pada   pokoknya menyatakan  Risywah  hukumnya  tetap  haram  walaupun  menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap perolehan apa saja diluar gaji dan dana resmi atau legal yang terkait dengan  jabatan atau  pekerjaan  merupakan harta  “ghulul  atau  korupsi” yang hukumnya tidak halal meskipun itu atas nama “hadiah” atau “tanda terima kasih”. Akan tetapi dalam konteks dan perspektif syari’at Islam hal seperti itu bukan merupakan ‘hadiah’, melainkan dikategorikan sebagai “risywah” atau “syibhu risywah” yaitu semi suap, atau juga   “risywah masturoh” yaitu suap terselubung dan sebagainya.

 Beberapa istilah yang serupa dengan risywah, diantaranya pemberian kepada

1.Penguasa

Ibnu Hubaib berkata, “Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada penguasa, hakim, pejabat dan pegawai penarik retribusi.” (al-Qurtubi 2/340).

Nabi Muhammad SAW memang menerima hadiah walaupun beliau adalah pejabat dan penguasa, tapi ini adalah bagian dari kekhususan beliau, karena beliau ma’shum terjaga dari dosa. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz ketika beliau menolak hadiah yang diberikan kepadanya, beliau mengatakan: pemberian yang diberikan kepada Nabi termasuk hadiah, sementara yang diberikan kepada kita adalah risywah, karena pemberian yang diberikan kepada beliau lantaran kenabiannya sementara pemberian yang diberikan kepada kita karena pangkat jabatan kita.

2. Pejabat pemerintah

hadiah yang diberikan kepada pejabat hukumnya sama dengan hadiah yang diberikan kepada penguasa, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Hubaib, hal itu diperkuat dengan sabda Rasulullah dalam hadits Ibnul Utbiyah

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِي اللَّه عَنْهم قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

Dari Abi Humaid As Sa’idi RA berkata Nabi SAW mempekerjakan seseorang dari suku Azdy namanya Ibnu Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata [kepada Rasulullah] ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda beliau : kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara dengan suaranya kemudian beliau mengangkat tangannya sampai kelihatan putih ketiaknya lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan? (HR Bukhari)

 “ هدايا الأمراء غلول ”

“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul” (HR. Ahmad 5/424)

Ghulul, secara bahasa berarti khianat dan secara istilah mengambil sesuatu dari rampasan perang sebelum dibagi atau khianat pada harta rampasan perang. Berkata Nawawi, ghulul arti asalnya adalah khianat, tetapi penggunaannya secara dominan dipakai pada khianat dalam ghanimah. Dan yang biasa berkhianat atas harta itu adalah para penguasa dan pejabat.

3. Hakim

Pemberian yang diberikan kepada hakim adalah harta haram menurut kesepakatan para ulama, karena termasuk SUHT (yaitu yang haram yang tidak boleh di konsumsi maupun digunakan sebagai investasi).

4. Mufti

Haram bagi seorang mufti menerima suap untuk memberikan fatwa atau putusan hukum sesuai yang diinginkan mustafti (yang meminta fatwa). (ar-Raudhah 11/111, Asnaa al-Mutahalib 4/284)

Ibnu Arfah berkata, “sebagian ulama mutaakhkhirin mengatakan : ‘hadiah yang diberikan kepada seorang mufti jika tidak berpengaruh kepada semangat mufti tersebut, baik ada hadiah atau tidak ada tetap semangat maka boleh diambil, dan jika mufti tersebut tidak semangat kecuali dengan hadiah maka tidak boleh diambilnya, ini jika tidak berkaitan dengan masalah yang dipertikaikan. Tapi sebaiknya seorang mufti tidak menerima hadiah dari mustafti, karena itu bisa menjadi risywah kata Ibnu Aisyun.

5. Saksi

Haram bagi seorang saksi menerima pemberian  apabila ia menerimanya maka gugurlah keadilan yang menjadi syarat sah kesaksiannya. (al-Muhadzaab 2/330, al-Mughni 9/40 dan 160).

Riwayat yang menjelaskan bahwa menerima dan memberi hadiah tidak dilarang, bahkan dianjurkan, di antaranya:

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا مَعْنٌ قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ سَأَلَ عَنْهُ أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ فَإِنْ قِيلَ صَدَقَةٌ قَالَ لِأَصْحَابِهِ كُلُوا وَلَمْ يَأْكُلْ وَإِنْ قِيلَ هَدِيَّةٌ ضَرَبَ بِيَدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلَ مَعَهُمْ

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW apabila diberikan makanan ia bertanya: “apakah ia merupakan hadiah atau sedekah?”, apabila dikatakan sedekah, ia meminta sahabatnya untuk mengambilnya, dan dia tidak mau mengambilnya, namun apabial dikatakan hadiah, maka Rasulullah ikut serta memakannya bersama sahabat yang lain.  (Ibn Hajar al-Asqlâniy, 2000: V, 254)

Dari hadis di atas tergambar bahwa hadiah pada hakikatnya adalah rezeki yang tidak boleh ditolak, di mana ia merupakan pemberian yang murni dari seseorang.  Namun permasalahan ini menimbulkan polemik baru ketika dikaitkan dengan hadist Abi Humaid

Rasulullah sangat mengecam amil zakat yang mengambil hadiah dari zakat yang dipungutnya. Jika tidak karena jabatannya tentu ia tidak akan menerima hadiah. Rasulullah melarang pejabat menerima sesuatu yang berkedok hadiah, sekalipun itu merupakan pemberian yang murni dari seseorang.

Hadis ini di letakkan Imam Bukhâriy dalam bab man lam yaqbil al-hadiah liy ‘illah (tidak menerima hadiah karena ada sebab tertentu). Sebelum menguraikan dua hadis yang terdapat di dalam bab ini beliau menukil perkataan Umar Ibn Abd al-’Azîz yakni:

قَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَتْ الْهَدِيَّةُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةً وَالْيَوْمَ رِشْوَةٌ

Umar Ibn Abdu al-’Azîz berkata: “Hadiah di zaman Rasullullah adalah risywah di masa ini.

Dalam sebuah riwayat diceritakan dari Farât ibn Muslim bahwa Umar  Ibn Abd al-’Azîz sangat menginginkan apel, lalu ia pergi untuk membelinya bersama Ibn Muslim. Dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang anak yang membawa piring berisi apel seraya menyuguhkan padanya. Umar mencium apel tersebut lantas menolaknya. Anak itu berkata aku tidak punyai maksud apa-apa, bukankah Nabi SAW, Abu Bakar, dan Umar menerima hadiah? ia menjawab: bagi mereka adalah hadiah, tapi bagi al-ummâl (pegawai pemerintah) setelah mereka adalah risywah. (Ibn Hajar al-Asqlâniy, 2000: V, 276)

Pernyataan ini senada dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawûd:

حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ أَبُو طَالِبٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ عَبْدِ الْوَارِثِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

Dari Buraidah Ibn al-Husib Ibn ‘Abdillah Ibn al-Hârits, Nabi SAW bersabda:” siapa yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (jabatan) dan ia kami beri rizki (gaji), maka apa yang diambilnya selain itu merupakan kecurangan (penghianatan). (Abu Dawûd, tth: III, 154)

Dalam hadis di atas nampak titik terang bahwa yang dimaksud oleh Umar risywah itu ialah hadiah yang diberikan kepada pejabat negara. Dalam kasus ini maka hadiah yang diberikan kepada pejabat sama halnya dengan ghulûl atau penghianatan (menyalahgunakan jabatan) dan di sinilah letak keharaman hadiah bagi pejabat pemerintahan.

Hadis ini tidak seperti hadis sebelumnya, di mana hadis sebelumnya langsung menunjuk pada hadiah yang diberikan kepada pejabat. Secara tidak langsung selain gaji, terdapat in come lain yang bisa dihasilkan oleh pejabat, seperti hadiah atau risywah dan sebagainya. Oleh sebab itu, atas dasar hadis di atas maka dapat dikatakan bahwa hadiah dan risywah dilarang bagi pejabat negara. Umar Ibn Kathtthâb pernah menulis surat kepada pegawainya, di dalam surat itu ia menyebutkan:

إياكم والهدايا فإنها من الرشا

Jauhilah segala macam hadiah karena sesungguhnya hadiah itu termasuk risywah. (Abdullah Ibn Abdul Muhsin, 2001: 35)

Selain pejabat negara, hakim juga dilarang mengambil hadiah dalam riwayat munqathi’ yang dikeluarkan oleh al-Nasâ’iy disebutkan:

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا خَلَفٌ يَعْنِي ابْنَ خَلِيفَةَ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ زَاذَانَ عَنْ الْحَكَمِ بْنِ عُتَيْبَةَ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ الْقَاضِي إِذَا أَكَلَ الْهَدِيَّةَ فَقَدْ أَكَلَ السُّحْتَ وَإِذَا قَبِلَ الرِّشْوَةَ بَلَغَتْ بِهِ الْكُفْرَ.

Masyrûk berkata: Hakim apabila mengambil hadiah sungguh ia telah mengambil yang haram, dan apabila menerima risywah maka ia menjadi kafur. (Al-Nasa’iy, 1993: VII, 315)

Dari beberapa hadis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hekekatnya hadiah dibolehkan namun ada pengecualian bagi hakim, pejabat negara, amil zakat, atau pihak yang berhak mengambil kebijakan, maka baginya meneriman hadiah dipandang haram. Keharamannya bisa masuk dalam katagori khianat dan risywah. Penghianatan dalam arti ghulul ini desebabkan oleh penyalahgunaan jabatannya, sementara risywah disebabkan oleh adanya tendensi dari pemberi yang menyebabkan penerima membenarkan yang batil dan menyalahkan yang hak demi keinginan pemberi.

Sikap Umar Ibn Abdul Aziz agaknya lebih tegas lagi ia justeru menolak pemberian, sekalipun itu hadiah. Sebab tidak seorangpun yang mengetahui isi hati seseorang, kecuali ia sendiri dan Allah SWT. Dari ini dapat dikatakan bahwa sikap yang diambil Umar ini merupakan bentuk menutup peluang dosa bagi terjadinya praktek suap dan hilangnya objektivitas dalam mengambil kebijakan, atau biasa disebut dengan Syadd al-Dzarâ’i’.

Sedangkan pemberian hadiah yang menjurus kepada Gratifikasi  menurut UU Pemberantasan TIPIKOR dapat dikenakan sanksi :

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 12B ayat [2] UU Pemberantasan TipikoR)

Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu :

  1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan   atau   bawahannya
  2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
  3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
  4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan
  5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
  6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
  7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
  8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu.

Kesimpulan :

  1. Risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada pejabat atau yang lainnya dengan maksud menguntungkan dirinya atau pihak tertentu.
  2. Macam-macan risywah yang diharamkan adalah :
  3. Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
  4. Risywah terhadap penegak hukum agar dia memutuskan perkara sesuai dengan yang diinginkan.
  5. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak kemudaratan dan mengambil mamfaat.
  6. Haram Hadiah atau pemberian sesuatu ( sibhurriyswah) dengan tujuan :
  • membatalkan yang haq
  • merealisasikan kebathilan
  • mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan
  • mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya
  • memenangkan perkaranya yang bukan haknya
  1. money politic baik yang diberikan sebelum atau sesudah menjabat.
  2. Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta,untuk keselamat harta dan jiwa secara hak dibolehkan  bagi yang memberikan. Hal ini boleh dilakukan karena menolak kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.  haram bagi orang yang mengambil ( yang menerimanya )
  3. Hadiah ( Gratifikasi ) kepada Pejabat ( Penguasa ) suatu pemberian dari seseorang dan/atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya dengan tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.( Sibhur Risywah) hukumnya haram.

Wallahu ‘alam


DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM

Pada Sidang Dewan Hisbah Lengkap

    Di Gedung Haji Qanul Manazil, Ciganitri Bandung, 7 Sya’ban 1434 H / 16 Juni 2013 M

 Tentang:

BATASAN RISYWAH"

بسم الله الرحمن الرحيم

 

Dewan Hisbah Persatuan Islam setelah:

MENGINGAT:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.[QS Al-Baqarah  (2) :188]

 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadam.[QS.An-Nisa ( 4) :29]

 

وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ * لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu [QS Al-Maidah( 5):62—63].

 

Hadits-hadits Rasulullah SAW yang melarang risywah.

 عن أبي هريرة قال ثم لعن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  الراشي والمرتشي في الحكم   ( رواه الترمذى)

Dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok dalam hukum (HR. At-Turmuzi)

 عن عبد الله بن عمرو قال ثم لعن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  الراشي والمرتشي.   (رواه الترمذى)

Dari Abdullah bin Amr, beliau berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan menerima sogok (HR. At-Turmuzi)

 

عن ثوبان قال لعن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم الراشي والمرتشي والرائش يعني الذي يمشي بينهما (رواه أحمد)    

Dari Tsauban, beliau berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok serta orang yang menjadi perantara, yaitu orang yang berjalan di antara keduanya (HR. Ahmad)

 

عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال من شفع لأخيه شفاعة فأهدى له هدية عليها فقبلها فقد أتى بابا عظيما من   أبواب الربا.  (رواه أبو داود)

Dari Abi Umamah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Siapa yang menolong saudaranya dengan suatu pertolongan lalu dia memberi suatu hadiah dan hadiah itu diterimanya, maka berarti dia memasuki pintu besar dari pintu-pintu riba (HR Abu Daud).

 

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ إنِّي لَأُعْطِي أَحَدَهُمْ الْعَطِيَّةَ فَيَخْرُجُ بِهَا يَتَأَبَّطُهَا نَارًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلِمَ تُعْطِيهِمْ ؟ قَالَ يَأْبُونَ إلَّا أَنْ يَسْأَلُونِي وَيَأْبَى اللَّهُ لِي الْبُخْلَ

Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya aku memberi seseorang pemberian, lalu dengan pemberian tersebut dia terhindar dari api. Lalu sahabat bertanya, ‘Kenapa engkau memberi mereka ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Mereka enggan, kecuali mereka meminta kepadaku. Allah pun enggan kalau aku bakhil” (H.r. Ahmad)

عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ ابْن مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّهُ لَمَّا أَتَى أَرْضَ الْحَبَشَةِ أَخَذَ بِشَىْءٍ فَتُعُلِّقَ بِهِ فَأَعْطَى دِينَارَيْنِ حَتَّى خُلِّىَ سَبِيلُهُ

Dari al-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ketika ia datang ke negeri Habsyah, ia membawa sesuatu, maka ia ditahan karena sesuatu itu. Lalu ia memberi dua dinar sehingga ia dibebaskan. (H.r. al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, juz X:139)

Dalam riwayat Ibnu Abu Syaibah dengan redaksi

لَمَّا أَتَى أَرْضَ الْحَبَشَةِ أُخِذَ فِي شَيْءٍ فَأَعْطَى دِينَارَيْنِ حَتَّى خُلِّي سَبِيلَهُ.

Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ketika ia datang ke negeri Habsyah, ia ditahan karena sebab sesuatu. Lalu ia memberi dua dinar sehingga ia dibebaskan. (al-Mushannaf, VI:557)

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِي اللَّه عَنْهم قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

Dari Abi Humaid As Sa’idi RA berkata Nabi SAW mempekerjakan seseorang dari suku Azdy namanya Ibnu Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata [kepada Rasulullah] ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda beliau : kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara dengan suaranya kemudian beliau mengangkat tangannya sampai kelihatan putih ketiaknya lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan? (HR Bukhari)

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا مَعْنٌ قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ سَأَلَ عَنْهُ أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ فَإِنْ قِيلَ صَدَقَةٌ قَالَ لِأَصْحَابِهِ كُلُوا وَلَمْ يَأْكُلْ وَإِنْ قِيلَ هَدِيَّةٌ ضَرَبَ بِيَدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلَ مَعَهُمْ

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW apabila diberikan makanan ia bertanya: “apakah ia merupakan hadiah atau sedekah?”, apabila dikatakan sedekah, ia meminta sahabatnya untuk mengambilnya, dan dia tidak mau mengambilnya, namun apabial dikatakan hadiah, maka Rasulullah ikut serta memakannya bersama sahabat yang lain.  (Ibn Hajar al-Asqlâniy, 2000: V, 254)

قَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَتْ الْهَدِيَّةُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةً وَالْيَوْمَ رِشْوَةٌ

Umar Ibn Abdu al-’Azîz berkata: “Hadiah di zaman Rasullullah adalah risywah di masa ini.

حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ أَبُو طَالِبٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ عَبْدِ الْوَارِثِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

Dari Buraidah Ibn al-Husib Ibn ‘Abdillah Ibn al-Hârits, Nabi SAW bersabda:” siapa yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (jabatan) dan ia kami beri rizki (gaji), maka apa yang diambilnya selain itu merupakan kecurangan (penghianatan). (Abu Dawûd, tth: III, 154)

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا خَلَفٌ يَعْنِي ابْنَ خَلِيفَةَ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ زَاذَانَ عَنْ الْحَكَمِ بْنِ عُتَيْبَةَ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ الْقَاضِي إِذَا أَكَلَ الْهَدِيَّةَ فَقَدْ أَكَلَ السُّحْتَ وَإِذَا قَبِلَ الرِّشْوَةَ بَلَغَتْ بِهِ الْكُفْرَ.

Masyrûk berkata: Hakim apabila mengambil hadiah sungguh ia telah mengambil yang haram, dan apabila menerima risywah maka ia menjadi kafur. (Al-Nasa’iy, 1993: VII, 315

  

MEMPERHATIKAN :  

1.   Sambutan dan pengarahan dari Ketua Dewan Hisbah KH.Usman Sholehuddin

2.   Sambutan dan pengantar dari Ketua Umum PP Persis Prof. Dr. KH. M Abdurrahman, MA.

3.   Makalah dan pembahasan yang disampaikan oleh: 1. KH. Taufik Azhar, S. Ag,  2. Anatomi Muliawan

4.   Pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah tersebut di atas

 

MENIMBANG:          
1.   Risywah/sogok telah menyebar dan mempengaruhi hampir seluruh sendi kehidupan
2.   Dampak yang telah ditimbulkan sangat mengkhawatirkan karena menjadi pemicu utama menjamurnya perbuatan korupsi.
3.   Risywah dan korupsi telah berpengaruh besar kepada kehidupan masyarakat dalam segala aspek kehidupan.
4.   Risywah dan korupsi telah berpengaruh kepada meningkatnya prosentase kemiskinan dan pengangguran.
5.  
Banyak masyarakat yang belum mengerti dan belum mendapat kepastian mengenai bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk kategori risywah.
6.   Perlu adanya kejelasan dan ketegasan tentang batasan perbuatan risywah.

Dengan demikian Dewan Hisbah Persatuan Islam  

MENGISTINBATH :
1.   Risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada pejabat atau yang lainnya dengan maksud menguntungkan dirinya atau pihak tertentu.
2.    Macam-macam risywah yang diharamkan adalah :

a)    Risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.

b)    Risywah untuk memuluskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak kemudaratan dan mengambil mamfaat.

c)    Hadiah atau pemberian sesuatu ( Sibhur Riyswah) untuk tujuan :

    • membatalkan yang haq
    • merealisasikan kebathilan
    • mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan
    • mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi  haknya
    •  memenangkan perkaranya yang bukan haknya

d)     Money politics baik yang diberikan sebelum atau sesudah menjabat.

 3.    Risywah untuk menolak ancaman atas agama, harta, jiwa dan kehormatan hukumnya mubah bagi ar-Rasyi (penyogok), dan  bagi al-Murtasyi (yang menerimanya) hukumnya haram.

 4.    Setiap yang terlibat untuk terjadinya risywah telah melakukan suatu yang haram.

 5.    Hadiah ( Gratifikasi ) kepada Pejabat ( Penguasa ) suatu pemberian dari seseorang dan/atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya dengan tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak (Sibhur Risywah) hukumnya haram.

Demikian keputusan Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut dengan  makalah terlampir.

الله يأخذ بأيدينا الى ما فيه خير للإسلام و المسلمين

Bandung,  7 Sya’ban 1434 H / 16 J u n i  2013 M

 DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM

    Ketua                                                                                     Sekretaris

  KH. USMAN SHOLEHUDDIN                                                       KH. ZAE NANDANG

NIAT:   05536                                                                                      NIAT: 13511

Editor : Administrator

Postingan Lainnya

Comments (0)

Leave a Comment