IMG-LOGO
Ceramah & Ngaji Online
Home Konsultasi Syariah Pada sholat ied jika imam lupa satu takbir apakah harus sujud sahwi atau gimana ?
Konsultasi Syariah

Pada sholat ied jika imam lupa satu takbir apakah harus sujud sahwi atau gimana ?

Administrator - Selasa, 22/09/2020 14:46 WIB 1 Views
IMG

Syari’at sujud sahwi dilaksanakan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam dalam empat keadaan, yaitu
1. Lupa tertinggal tasyahud awal


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ بُحَيْنَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: «ØµÙŽÙ„Ù‘ÙŽÙ‰ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ مِنْ بَعْضِ الصَّلَوَاتِ، ثُمَّ قَامَ، فَلَمْ يَجْلِسْ، فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ وَنَظَرْنَا تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ قَبْلَ التَّسْلِيمِ، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ، ثُمَّ سَلَّمَ» صحيح البخاري (2/ 67)

Dari Abdullah bin Buhainah –semoga Allah meridhainya-, berkata : Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam salat mengimami kami -pada sebagian salat- setelah dua raka’at beliau berdiri dan tidak duduk dulu, maka orang-orang pun berdiri mengikutinya. Ketika beliau selesai melaksanakan salat dan kami menunggu-nunggu salamnya, beliau takbir sebelum salam dan sujud dua kali dalam keadaan duduk kemudian salam. (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, 2/67)
2. Lupa kekurangan raka’at


عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعَصْرَ، فَسَلَّمَ فِي ثَلَاثِ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ دَخَلَ مَنْزِلَهُ، فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ الْخِرْبَاقُ، وَكَانَ فِي يَدَيْهِ طُولٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ فَذَكَرَ لَهُ صَنِيعَهُ، وَخَرَجَ غَضْبَانَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ، حَتَّى انْتَهَى إِلَى النَّاسِ، فَقَالَ: أَصَدَقَ هَذَا قَالُوا: نَعَمْ، «ÙÙŽØµÙŽÙ„Ù‘ÙŽÙ‰ رَكْعَةً، ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ» صحيح مسلم (1/ 404)

Dari ‘Imron bin Hushain, sesungguhnya Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam salat Ashar kemudian salam pada raka’at yang ketiga lalu masuk rumah. Lalu berdirilah seorang lelaki yang bernama Khirbaq –yang mana kedua tangannya panjang- lalu berkata : Wahai Rasulullah! , lalu dia menerangkan yang diperbuat beliau. Rasulullah keluar dalam keadaan marah sambil menggusur sarungnya sehingga sampai pada orang-orang, lalu bertanya : Apakah orang ini berkata benar? Mereka menjawab : Ya, kemudian beliau salat satu raka’at lalu salam lalu sujud dua kali lalu salam. (HR. Muslim, Shahih Muslim, 1/404)
3. Lupa kelebihan raka’at


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا، فَقِيلَ لَهُ: أَزِيدَ فِي الصَّلاَةِ؟ فَقَالَ: «ÙˆÙŽÙ…َا ذَاكَ؟» قَالَ: صَلَّيْتَ خَمْسًا، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ صحيح البخاري (2/ 68)

Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam salat dzuhur lima raka’at, lalu beliau ditanya “apakah salat (raka’atnya) ditambah?” Rasulullah besabda: Memangnya kenapa? Orang itu menjawab, “Anda salat lima raka’at”, kemudian beliau sujud dua kali setelah salam. (HR Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, 2/68)
4. Ragu jumlah raka’at salat


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا، فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ» صحيح مسلم (1/ 400)

Dari Abi Sa’id Al Khudri, berkata : Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam salatnya, lalu tidak tahu apakah baru tiga raka’at ataukah sudah empat raka’at? Maka buanglah yang ragu dan tetapkanlah yang yakin, kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ia salat lima raka’at, maka cukuplah salat itu baginya dan jika ia shalat sempurna empat raka’at, maka itu merupakan penghinaan bagi syetan. (HR. Muslim, Shahih Muslim, 1/400)
Dari hadis-hadis di atas dapat disimpulkan bahwa adanya syari’at sujud sahwi berhubungan dengan lupa terlaksananya kewajiban dan rukun salat, baik dalam salat wajib maupun salat sunat, karena pada salat sunat pun ada kewajiban dan rukun yang mesti dipenuhi.
Adapun takbir zaidah (tambahan selain takbiratul-ihram) pada sal

at ‘ied tidak wajib dan tidak termasuk rukun salat. Hadis yang menerangkan takbir ‘ied 7 pada raka’at pertama dan 5 pada raka’at kedua berupa perbuatan Nabi shallalahu ‘alihi wasallam semata tanpa ada penekanan dalam riwayat lain yang memerintahkannya/mewajibkannya. Dalam kaidah ushul disebutkan
مجرد الفعل لا يفيد الوجوب
Semata perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam tidak menunjukkan wajib.
Imam Asy-Syaukani menerangkan,

وَالظَّاهِرُ عَدَمُ وُجُوبِ التَّكْبِيرِ كَمَا ذَهَبَ إلَيْهِ الْجُمْهُورُ لِعَدَمِ وُجْدَانِ دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَيْهِ- نيل الأوطار (3/ 357)
dan yang nampak, hukum takbir tambahan dalam salat ied tidak wajib (sunah, -pent), sebagaimana pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama, karena tidak adanya dalil yang menjelaskan wajibnya takbir tambahan dalam salat ied” (Nailul Authar, 3/357).
Dengan demikian simpulannya sebagai berikut
1. Takbir zaidah (tambahan selain takbiratul-ihram) pada salat ‘ied hukumnya tidak wajib dan tidak termasuk rukun salat
2. Apabila lupa kekurangan, kelebihan, atau ragu jumlah takbir dalam salat ‘ied, tidak ada syari’at sujud sahwi. By Muslim Nurdin
:red_circle: Bagaimana hukum badal saum termasuk nazar saum bagi orang tua yang sudah meninggal ?

:large_blue_circle: Salah satu prinsip utama dalam Islam adalah keadilan. Setiap orang akan dibalas baik perbuatan baik berupa pahala maupun buruk berupa dosa atau hukuman dari Allah sesuai dengan amalannya masing-masing ketika hidup di dunia. Tidak ada seorangpun yang akan didzalimi terkait dengan balasan tersebut. Setiap orang mempertanggungjawabkan amalnya masing-masing.
(أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39
(yaitu)
bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,
(An-Najm : 38-39) وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.
(Fathir: 18) وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Al-Baqarah: 281)
Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka putuslah semua amalannya kecuali tiga perkara

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim, sahih Muslim, 5/73)
Adapun terkait dengan dalil-dalil yang dianggap kebolehan mengganti atau badal saum bagi orang yang sudah meninggal, pertama berdasarkan hadis dari Ibn Abbas RA

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى

dari Ibnu Abbas ra berkata; Datang seorang laki-laki kepada Nabi ï·º lalu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meningal dunia dan dia mempunyai kewajiban (hutang) puasa selama sebulan, apakah aku boleh menunaikannya? Beliau ï·º berkata: Ya, Beliau melanjutkan: Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ (HR Bukhari, Sahih al-Bukhari, 3/35)
dari Ibnu Abbas ra bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi ï·º lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya? Beliau menjawab: Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmnu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya? Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً رَكِبَتْ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ أَنْ تَصُومَ شَهْرًا فَنَجَّاهَا اللَّهُ فَلَمْ تَصُمْ حَتَّى مَاتَتْ فَجَاءَتْ ابْنَتُهَا أَوْ أُخْتُهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَصُومَ عَنْهَا (HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 3/18)
dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita mengarungi bahtera, kemudian ia bernadzar seandainya Allah menyelamatkannya maka ia akan berpuasa satu bulan. Kemudian Allah menyelamatkannya dan ia tidak berpuasa hingga ia meninggal. Lalu anak wanitanya atau saudara wanitanya datang kepada Rasulullah ï·º, lalu beliau memerintahkannya agar berpuasa untuknya (HR. Abu Dawud, Sunan Abu dawud, 9/134)
hadis diatas saling menjelaskan satu sama lain. Hadis pertama sifatnya Mutlaq, belum ada keterangan saum jenis apakah dalam matan hadis tersebut. Namun dalam hadis kedua dan ketiga merupakan taqyid atau batasan, bahwa yang dimaksud saum dalam hadis pertama maksudnya saum nazar. Hadis-hadis tersebut secara sarih membolehkan mengganti hutang nazar yang dilakukan oleh orang tua yang telah meninggal.
Secara analisis sanad, hadis-hadis diatas riwayatnya sahih. Namun secara penunjukan makna jika difahami sebagai dalil bolehnya mengganti saum nazar orang tua yang sudah meninggal, maka pertama akan bertentangan dengan ayat tentang keadilan, bahwa setiap orang tidak akan dibalas kecuali sesuai dengan amalnya ketika di dunia. Karena itu dalam Islam, sesuai dengan prinsip keadilan, tidak ada transfer pahala maupun dosa.
Kedua, jika difahami dalam konteks nazar, maka akan bertentangan pula dengan hadis yang menyatakan bahwa amalan manusia ketika telah meninggal telah terputus, kecuali sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang selalu mendo’akan. Ketiga amalan tersebut Kembali kepada amalan si mayit ketika hidup. Karena itu jika seseorang mempunyai hutang kepada Allah, maka pada hakikatnya, si mayit tidak dapat membayarnya lagi atau telah lunas, karena waktu untuk menunaikannya yaitu ketika hidup di dunia telah tiada.
Ketiga, secara analisis mukallaf orang yang sudah meninggal, sudah bukan lagi mukallaf sehingga dia tidak dibebani lagi oleh kewajiban-kewajiban kepada Allah, termasuk didalamnya dalam menunaikan nazar
Keempat, ibadah saum merupakan ibadah badaniyah, sebagaimana halnya salat. Karena itu tidak ada penggantian atau badal dalam masalah ibadah badaniyah, termasuk didalamnya pelaksaaan terhadap nazar saum orang tua yang telah meninggal.
Kelima, ketika bertentangan antara dalalah al-Quran dan dalalah as-Sunnah, maka didahuluka dalalah yang ditunjukan oleh al-Quran
Dengan demikian kesimpulannya, pertama tidak ada penggantian atau pembayaran nazar saum bagi orang tua yang sudah meninggal. Kedua, hadis-hadis pembayaran nazar saum orang tua oleh walinya, walaupun secara sanad sahih, namun terkait penunjukan maknanya kami bertawaquf terhadap hadis-hadis tersebut, karena jika difahami zahir akan bertentangan al-Quran dan sunnah yang lebih kuat.
by Ginanjar Nugraha
https://emka.web.id/uncategorized/2012/belajar-css-mempercantik-tulisan-arab-dalam-web/