Untuk Wartawan, Ada Pelajaran dari An-Nur 11 - 20

Begitulah Fitnah dan Gosip Bergerak

Madinah tak ribut oleh teriakan. Ia bising oleh bisik-bisik. Berita itu tak datang sebagai tuduhan resmi, tetapi sebagai kalimat setengah jadi yang berpindah dari mulut ke mulut.

Tak ada saksi. Tak ada bukti. Hanya cerita yang diulang agar terasa benar. Nama Āisyah tak selalu disebut, tetapi semua tahu orang  yang dimaksud. Nama Ṣafwān hampir tak pernah diucapkan, seolah ia cukup hadir sebagai bayangan. Begitulah fitnah bekerja. Begitulah gosip bergerak. Tak butuh suara keras. Fitnah dan gosip hanya butuh telinga yang tak sabar.

Hari-hari berlalu. Āisyah jatuh sakit, kian parah. Bukan karena tubuhnya, melainkan karena udara Madinah terasa berbeda, lebih berat, lebih dingin. Ia tak tahu  yang dibicarakan orang-orang, sampai kemudian semuanya diketahui tanpa sengaja, suatu malam, saat mau buang hajat bersama Umu Mistah. Dari Umu Mistah-lah semuanya terungkap. Malam seperti terasa sangat kelam bagi Aisyah. Mungkin sangat menyiksa pula. Fitnah itu ternyata telah beredar luas, beringas.

Istri Abu Ayyub Al-Ansari, di tengah badai fitnah itu bertanya kepada suaminya. “Dengarkah Anda yang dibicaraka orag-orang tentang Aisyah?”. Jawab Abu Ayyub, sang suami, “Ya, tetapi itu kabar bohong, Kau ikut menyebarkan fitnah juga, hai Ummu Ayyub?”. Jawabnya, “Demi Allah, tidak!”. Kata Abu Ayyub berikutnya,” Aisyah itu, demi Allah, lebih baik darimu. Itu kabar bohong dan tuduhan palsu” (Zubdah At-Tafsir).

 

Madinah Menunggu, Lahir dari Cahaya

Ia tahu, dalam badai seperti ini, suara yang paling jujur sering kali tenggelam. Nabi Muhammad mendengar semuanya. Namun beliau tak segera menjawab. Tak membela. Tak pula menuduh. Beliau menunggu. Bukan karena ragu pada kebenaran, melainkan  karena kebenaran sejati tak lahir dari emosi. Ia lahir dari cahaya. Pantas, kalau ayat yang turun kemudian bernama surat Nur (surat Cahaya).

Madinah menunggu, tanpa sadar bahwa yang diuji bukan hanya satu keluarga, melainkan etika sebuah masyarakat. Lalu, langit berbicara. Bukan dengan menyebut nama. Bukan dengan mengulang luka. Namun,  dengan menetapkan kebenaran. “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…” (An-Nur : 11).

Kalimat itu jatuh seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Fitnah diberi nama :  ifk, kebohongan besar. Bukan lagi sekadar isu atau  gosip. Bukan kesalahpahaman.

Allah tak memanggil Āisyah ke depan. Tak pula menyeret Ṣafwān ke panggung. Justru, orang-orang di sekitarnyalah yang ditegur.  Mengapa berbicara tanpa ilmu? Mengapa mendengar tanpa menimbang? Mengapa pula menyebarkan tanpa berpikir?

 

Hak Jawab Ilahi, dari Langit

Empat saksi diminta, bukan untuk menyulitkan, melainkan  untuk melindungi martabat (An-Nur : 13).  Kehormatan manusia terlalu mahal untuk ditukar dengan cerita.

Pada ayat-ayat Al-Qur’an itu,  tanpa satu pun nama disebut. Kehormatan dikembalikan. Tak  ada semacam konferensi pers. Tak ada pembelaan panjang. Hanya hak jawab ilahi, dari langit : tenang, tegas, dan final.

Āisyah dibersihkan bukan dengan pujian, melainkan dengan keadilan. Ṣafwān dipulihkan bukan dengan sorotan, melainkan dengan diam yang bermartabat. Fitnah dipatahkan. Masyarakat diajari cara menundukkan lidahnya sendiri.

Ayat-ayat itu tidak berhenti pada masa itu. Ia menyeberang zaman, menunggu siapa pun yang gemar mengulang cerita tanpa bukti. Seolah Allah berpesan: “Setiap kali kau tergoda untuk menyebarkan kabar yang belum kau pastikan, ingatlah hari ketika langit sendiri harus turun untuk meluruskan manusia”. An-Nur 11 – 20 masih relevan, dan akan tetap relevan jadi pegangar dan pelajaran, apalagi  zaman abad informasi dan komunikasi seperti sekarang ini.

Boleh jadi, itulah bagian yang paling mengharukan dari kisah ini.
Bahwa ketika manusia gagal melindungi sesamanya, Tuhan turun tangan, bukan hanya untuk membela korban, melainkan juga untuk menyelamatkan kita dari dosa berjamaah yang bersumber dari lidah kita sendiri.

Langit telah menjawab. Kini, giliran manusia belajar diam, yang memang, sewaktu-waktu seperti emas.

(Dean Al-Gamereau)

 

Editor : Hanif

Postingan Lainnya

Comments (0)

Leave a Comment