Ketika Berita Langit Ada yang Hilang

Di masa lalu, banyak orang menantikan koran setiap pagi bukan hanya untuk membaca berita politik atau ekonomi, tapi juga "berita langit” — laporan tentang peluncuran roket, ekspedisi ke bulan, penemuan planet baru, hingga kisah misteri kosmos.

Nama-nama seperti Apollo, Voyager, Viking I dan II begitu akrab di telinga.
Majalah sains dan keislaman seperti Panjimas menautkan berita langit dengan tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta.

Namun di era digital yang serba cepat ini, minat pada berita langit nyaris padam.
Padahal, informasi tentang antariksa kini lebih mudah diakses dibandingkan sebelumnya.

Mengapa justru semakin banyak pengetahuan, semakin sedikit kekaguman?

Dari Kekaguman ke Kegunaan

Dulu, membaca berita langit adalah bentuk tafakkur — merenungkan betapa luasnya ciptaan Allah dan betapa kecilnya manusia.
Kini, dunia digital membuat manusia berpikir pragmatis:

“Apa manfaatnya untuk saya?”

Rasa takjub tergeser oleh logika manfaat.
Padahal, kekaguman kepada ciptaan adalah jalan menuju pengenalan kepada Sang Pencipta.

Krisis Tafakkur di Tengah Ledakan Informasi

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٍ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ 

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal."

(QS. Ali ‘Imran [3]:190)

Ayat ini bukan sekadar ajakan membaca fenomena alam, tetapi perintah untuk merenung.
Namun  di zaman “scrolling” dan “swipe”, informasi datang terlalu cepat, hingga manusia tak sempat merenung. Ilmu ada, tapi hikmah hilang. Pengetahuan meningkat, tapi kesadaran menurun.

 

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ 

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.'"  (QS. Ali ‘Imran [3]:191)

Dua ayat ini menjadi fondasi hubungan antara tafakkur dan dzikrullah. Orang berakal sejati bukan hanya berpikir tentang ciptaan, tapi juga mengingat Pencipta.  Mereka tidak berhenti pada pengetahuan, tetapi naik menuju pengenalan dan cinta kepada Allah.

Media yang Menyempitkan Langit

Dulu, halaman koran membuka jendela dunia. Kini, algoritma media sosial justru menutupnya rapat. Yang muncul di layar hanyalah hal-hal yang trending, bukan yang transcendent. Manusia dijejali berita yang memicu emosi, bukan yang menumbuhkan pemikiran. Langit pun hilang dari percakapan publik.

Hilangnya Romantika Ilmu

Membaca koran dan membuat kliping dulu adalah ritual ilmu, membuka halaman, menggunting berita, menandai tulisan, menyimpannya dengan penuh makna. Kini, semua serba cepat dan mudah terhapus dari ingatan.

Proses membaca berubah menjadi konsumsi instan. Padahal, pengetahuan butuh penghormatan dan ketenangan, bukan kecepatan. Ilmu bukan sekadar data, tapi perjalanan jiwa menuju kebenaran.

Ilmu yang Terlepas dari Iman

Banyak media sains modern mengajarkan kosmos tanpa menyebut Sang Pencipta.
Langit dijelaskan secara teknis, bukan secara spiritual.
Padahal, bagi seorang mukmin, setiap berita tentang bintang, planet, dan galaksi adalah tanda kebesaran Allah.

Sebagaimana firman-Nya:

وَفِي ٱلسَّمَآءِ رِزۡقُكُمۡ وَمَا تُوعَدُونَ

"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu."
(QS. Az-Zariyat [51]:22).

Ilmu dan iman seharusnya tidak dipisahkan, karena sains yang tanpa tauhid hanyalah angka tanpa makna.

Dari Tafakkur ke Dzikrullah hingga Ma‘rifah

Tafakkur adalah jalan akal, dzikrullah adalah jalan hati, dan ma‘rifah adalah cahaya yang lahir dari keduanya.
Ketika seseorang merenung tentang kebesaran Allah, hatinya pun tergerak untuk mengingat-Nya.
Dan dari zikir yang terus-menerus itulah lahir pengenalan sejati kepada Allah (ma‘rifatullah).

Orang yang telah mengenal Allah akan selalu menyebut-Nya, bukan karena paksaan, tapi karena cinta.
Lisannya ringan berkata “Allah, Allah…” karena hatinya telah dipenuhi dengan-Nya.
Setiap melihat langit, mendengar suara, atau merasakan angin, yang hadir di dalam dadanya hanyalah Allah.

Sebagaimana para arifin berkata:

مَنْ عَرَفَ اللَّهَ لَمْ يَجِفَّ لِسَانُهُ مِنْ ذِكْرِهِ

“Barangsiapa mengenal Allah, maka lidahnya tak akan pernah kering dari menyebut-Nya.”

Cinta yang Lahir dari Pengenalan

Dalam dunia sufi, sering diibaratkan dengan kisah Qays dan Laila, cinta yang membakar jiwa hingga Qays dijuluki Majnun, yang artinya “orang gila karena cinta.”
Mengapa Qays tergila-gila pada Laila?
Karena ia sangat mengenalnya, dan setiap kenangan tentang Laila menyalakan api cintanya.

Begitulah pula seorang mukmin sejati:
Semakin ia mengenal Allah, semakin ia mabuk cinta kepada-Nya.
Hatinya terus bergetar menyebut nama Allah, bukan karena kebiasaan, tetapi karena kerinduan.
Sedikit-sedikit Allah ....... karena Allah selalu hadir dalam pikirannya.
Sedikit-sedikit Allah ....... karena tak ada lagi yang lebih nyata bagi hatinya selain Dia.

Kembalilah Bertafakkur

Manusia modern tidak kekurangan data tentang langit, tetapi kehilangan rasa takjub terhadap Pencipta langit.
Berita langit akan kembali hidup bila manusia memadukan ilmu dengan iman, pengetahuan dengan tafakkur, dan akal dengan cinta.

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu pernah berkata:

عَلَامَةُ الْعَاقِلِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى الْمَخْلُوقِ فَيَعْرِفَ الْخَالِقَ

“Tanda orang berakal ialah memandang ciptaan, lalu mengenal Sang Pencipta.”

Semoga kita kembali menengadah, bukan hanya menatap layar.
Karena di atas sana, di langit dan seluruh cakrawala, masih terbentang tanda-tanda kebesaran Allah bagi mereka yang mau berpikir.

Bila pandanganmu hanya ke bumi,
maka dunia tampak kecil dan sempit.

Namun bila engkau menatap langit,
maka jiwamu akan tahu arah pulang.

Tafakkur menyalakan akal,
Dzikrullah menghidupkan hati,
Dan Ma‘rrifah menyatukan keduanya,
hingga yang tersisa hanyalah:

“Allah….... Allah…....”

وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Taufik Mario Tholi, SH.

Kepala LAZ Persis KP Banten.

Editor : Ratu Nizma

Editor : Hanif

Postingan Lainnya

Comments (0)

Leave a Comment