Antara Arab dan Tiongkok,
Green Field Investment atau Brown Field Investment?
Oleh: Agus Herta Sumarto,
Peneliti INDEF dan Dosen Universitas Mercu Buana
Istilah Brown Field Investment (BFI) merupakan salah satu istilah yang mengacu pada salah satu jenis foreign direct investment (FDI) / investasi asing langsung. Investasi BFI merupakan investasi di mana pihak yang menjadi investor melakukan investasi di suatu negara dengan membeli, menggabungkan (merger), atau mengambil alih (akuisisi) perusahaan yang sedang eksis. Dengan cara seperti ini maka biasanya biaya yang dikeluarkan oleh investor jauh lebih kecil dibandingkan dengan investasi yang membangun perusahaan dari awal (Green Field Investment).
Seiring dengan perkembangan sektor keuangan yang sangat pesat, BFI menjadi pilihan utama para investor global. Selain karena biaya yang relatif lebih murah, prosedur perijinan BFI juga jauh lebih mudah dibandingkan dengan Green Field Investment (GFI). Dalam prakteknya, investor yang melakukan BFI hanya mengeluarkan financial capital tanpa harus melakukan berbagai upaya pembangunan infrastruktur utuk menunjang investasinya sehingga praktis para investor tidak harus melalui berbagai prosedur perijinan investasi yang biasanya ditetapkan oleh pemerintahan di suatu negara terhadap GFI. Oleh karena itu, tidak salah jika saat ini para investor global beramai-ramai berpindah dari GFI ke BFI.
Namun bagi negara yang menjadi tujuan investasi, berkembangnya BFI memiliki dampak negatif yang cukup besar. Karena sifatnya yang instan (tidak melakukan pembangunan infrastruktur sebagaimana investasi pada umumnya), multiplier effect ekonomi dari BFI tidak sebesar yang ditimbulkan oleh GFI. Masuknya BFI tidak menambah penciptaan lapangan pekerjaan secara signifikan dan bahkan tidak mendorong adanya pertumbuhan ekonomi dari sisi supply.
Dampak negatif BFI ini pernah dirasakan langsung oleh Turki selama periode tahun 2000 – 2013. Investasi asing yang masuk ke Turki malah menimbulkan penambahan angka pengangguran. Semakin banyak investasi yang masuk, semakin besar angka pengangguran yang terjadi di Turki. Hal ini terjadi karena investasi asing yang masuk ke Turki sebagian besarnya adalah jenis BFI yang hanya melakukan merger dan akuisisi terhadap perusahaan-peruhasaan yang sedang eksis. Oleh karena itu, tidak sedikit negara yang mencoba membatasi masuknya BFI dengan membuat berbagai kebijakan sebagai barriers bagi para investor yang ingin berinvestasi dengan menggunakan skema BFI.
Indonesia sepertinya mulai mengalami gejala yang menyerupai Turki. Para investor global yang masuk ke Indonesia sekarang lebih banyak menggunakan skema BFI. Salah satu indikatornya adalah pesatnya perkembangan pasar modal Indonesia. Pasar modal Indonesia mengalami perkembangan yang sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir ini. Pada akhir tahun 2009 nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia masih berada pada level 2.500an. Pada akhir tahun 2016 nilai IHSG sudah menembus angka 5.200an dengan nilai kapitalisasi pasar lebih dari Rp5.000 trilyun.
Oleh karena itu, tidak salah jika pemerintah berusaha mendorong supaya FDI yang masuk ke Indonesia bisa melalui mekanisme GFI. Masuknya FDI dengan skema GFI akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dimana akan tercipta lapangan pekerjaan yang baru dan meninpenciptaan lapangan pekerjaan dalam jumlah yang sangat besar dan pada akhirnya akan menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia. Pemerintah mencoba membuat berbagai kebijakan kemudahan investasi dan insentif bagi investor asing yang mau menanamkan modalnya di Indonesia dalam skema GFI.
Langkah pemerintah ini bisa dikatakan cukup berhasil. Beberapa mega proyek pembangunan infrastruktur yang melibatkan investor global dibuat dengan menggunakan skema GFI. Dengan adanya komitmen investasi menggunakan skema GFI diharapkan angka pengangguran di Indonesia akan turun signifikan dan pada akhirnya akan menurunkan angka tingkat kemiskinan.
Namun pada perkembangannya, pelaksanaan investasi dengan skema GFI oleh beberapa investor global ini mengalami beberapa modifikasi. Komitmen investasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur disertai dengan berbagai syarat yang menjadikan skema GFI memiliki sifat dan karakteristik yang menyerupai skema BFI. Beberapa investor global menyertakan syarat penyertaan tenaga kerja asing yang berasal dari negara investor bersangkutan mulai dari top management, midle management, first line management, bahkan sampai tingkat pekerja.
Jika arus investasi asing yang masuk ke Indonesia melalui mekanisme GFI ini adalah hanya proyek bayangan GFI padahal riilnya adalah BFI maka hampir bisa dipastikan pasar tenaga kerja Indonesia akan terkena ekses buruk yang paling besar. Saat ini Indonesia masih bergulat dengan tingkat ketimpangan yang besar serta angka pengangguran yang tinggi. Bila arus investasi asing yang masuk tersebut adalah BFI maka angka pengangguran di Indonesia tidak akan berkurang, bahkan akan cenderung bertambah sebagaimana yang terjadi di Turki. Lebih parahnya, jurang ketimpangan juga akan terus semakin melebar.
Dalam konteks inilah pemerintah wajib bertanya, apakah investasi dari Kerajaan Arab Saudi akan bersifat seperti BFI atau GFI? Pertanyaan yang sama juga harus diajukan kepada negara Tiongkok yang beberapa tahun terakhir ini memiliki komitmen memberikan dana pinjaman untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Jika salah satu dari kedua negara tersebut menyertakan persyaratan khusus dalam investasinya seperti penggunaan tenaga kerja, bahan baku industri, peralatan dan perlengkapan industri, serta syarat-syarat mengikat lainnya maka hampir bisa dipastikan investasi dari negara tersebut akan sangat merugikan perekonomian Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah harus tetap berhati-hati dan tidak boleh lengah. Jangan sampai komitmen investasi yang dibuat oleh investor-investor asing dengan skema GFI pada kenyataannya adalah kamuflase untuk “mengakali” skema yang sebenarnya, BFI. Bila investasi asing yang masuk ini sebenarnya adalah BFI maka sebaiknya pemerintah mempertimbangkan ulang untuk mencari investor-investor global lainnya yang jauh lebih meyakinkan dan mau berinvestasi di Indonesia dengan benar-benar melalui skema GFI.